Kamis, 03 Mei 2012

OLAH RASA MEMBERI KASIH SAYANG KEPADA ADIK



Dalam keluarga saya terdapat ayah dan mama, di keluarga juga terdapat seorang saudara kandung.  Saya memiliki saudara kandung perempuan yaitu adik saya. Kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya memang saya rasakan. Canda tawa dan tangisan kesakitan kita selalu alami bersama tapi terkadang kita musuhan dan terkadang kita rukun. Tanpa sadar saya dan saudara kandung saya memiliki suatu ikatan batin tersendiri. Saya sangat bangga memiliki saudara kandung yang setia menemani saya baik dalam suka mau pun duka.


Memberi kasih sayang melalui ciuman


Ciuman juga dapat dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kasih sayang tanpa unsur erotisme. Ciuman jenis ini mengekspresikan rasa kasih sayang, rasa syukur, simpati, kebahagiaan, dan kesedihan mendalam.


Pada saat saya menciumnya, saya merasakan sayang yang begitu besar yang di berikan saudara kandung saya terhadap saya. Sayang yang amat sangat di berikan seorang adik terhadap kakaknya yaitu tidak lain merupakan kuasamu Tuhan. Saya sangat bersyukur pada-Mu. Saya berfikir dikala saudara memberikan sayang yang tulus kepada saya, saya juga harus memberikan sayang dan kebaikan yang tulus pula. Disini saya berfikir sebagai seorang kakak, saya jangan egois atau menang sendiri dengan saudara kandung, saya juga harus memikirkan timbal balik yang di berikan. Dan ada suatu motivasi saya adalah di kala saudara kandung saya dalam keadaan susah, siap atau tidak siap saya harus membantunya.


Puisi Kasih Sayang untuk Adik 

Bersamamu
Saat jauh,
Kuingat pertengkaran kita, mesra
Saat dekat,
Kurindu senyuman manismu
Gayamu cerdas
Menawan hati
Kadang-kadang kau memuji diri
Aku pun hanya tersenyum
Adikku,
Aku hanya ingin mampu
Mencontohkan yang terbaik bagimu
Hingga kita nanti masing-masing
Memiliki keluarga sendiri-sendiri
Namun, aku harap kau
Selalu ada di sampingku
Menggapai impian
Yang pernah kita tulis dan kita tempel
Di dinding kamar dulu


Read More..

TAUHID DAN SAINS


Dalam Alquran dijelaskan:

{قل لو كان البحر مدادا لكلمات ربي لنفد البحر قبل أن تنفد كلمات ربي ولو جئنا بمثله مدادا }

Artinya: Jikalau sekiranya air laut dijadikan sebagai tinta untuk menuliskan ilmu Tuhanku maka akan habis air laut itu sebelum habis ilmu Tuhanku, dan tak akan habis ilmu Tuhanku walaupun didatangkan air laut yang sama. (QS: 18: 109).
Jika anda ingin mengetahui seberapa luas dan dalam ilmu Tuhan, maka jadikanlah lautan sebagai tintamu untuk menuliskan ilmunya, sampai tinta itu habis dan kering ilmu Tuhan belum habis sebab bagaimanapun lautan luasnya tak akan pernah mampu menuliskan ilmu Tuhan yang tak terbatas (Razy, vol XVI: 177).
Ayat di atas tidak menunjukkan bahwa manusia tidak mampu mengais secuil ilmu Tuhan. Justru ayat di atas memperlihatkan dan menggambarkan sikap yang sewajarnya dimiliki oleh seorang muslim. Seorang muslim sewajarnya tak letih untuk terus menuliskan dan menggali ilmu Tuhan. Sebab Tuhan telah menjamin bahwa ilmuNya tak akan pernah habis, sekuat dan segigih apapun manusia mengeksplorasinya.
Tauhid sebagai sumber kelahiran sains lalu memiliki makna yang dalam untuk menyelamatkan manusia dari kehancurkan akibat kemajuan sains itu sendiri. Jangan manusia untuk menggapai ilmu pengetahuan dimulai dari adanya yang absolut (Vasr, 1997: 3). Scientia sacra membawa dari semua kunkungan (Nasr, 1997: 357). Sebab, Yang Suci itu tidak lain adalah Tak Terbatas dab Abadi. Sementara, semua kungkungan dihasilkan dari kelalaian yang mewarnai realitas akhir dan tak dapat direduksi menjadi keadaan kosong sama sekali dari kebenaran (Nasr, 1997: 357).
Tauhid dilihat dari istilah ialah mengesakan Allah swt baik dari segi dzat, sifat dan asma-Nya. Sedangkan sains adalah pengetahuan sebagaimana adanya (sesuai fakta). Dengan adanya sains ini, seseorang akan menyimpulkan bahwa apa yang ada di jagad raya ini menjadi bukti adanya sang pencipta.   
Read More..

Jumat, 02 Maret 2012

Kacang Bawang n Marning Kriiuukk..





Ordeerr YuukkZzz.. 
100 % Halal.. 
Enak,, gurih,, renyah,, delicious..
Kacang Bawang 1/2 kg: 23.000 ajach n Marning Kriiuukk 1/2: 18.000 ajach.. 
Ada juga yang bungkus kecil,, Kacang Bawang 2.000 n Marning Kriiuukk 1.000.. 
Dijamin allday Anda seeerrruuuuu..
Pastii ketagihaann.. 


CP: 085237727285,, 085646551301.. ^_^
Read More..

Kamis, 16 Februari 2012

Siklus Krebs


          Siklus Krebs ditemukan oleh Sir Hans Adolf Krebs (1930)
          Siklus krebs merupakan tahap ke-2 respirasi aerob. Siklus ini disebut juga siklus asam sitrat.
          Siklus krebs terjadi pada mitokondria.

Tahapan Siklus Krebs:


a. Asam pirufat hasil glikolisis masuk mitokondria, melepaskan gugus karboksil dalam bentuk CO2 dan berikatan dengan koenzim A membentuk asetil-KoA.

b. Asetil KoA memasuki siklus krebs dg melepaskan koenzim A dan 2 atom karbon bergabung dg asam oksalosetat membentuk asam nitrat.
c. Penggunaan dan pelepasan kembali H2O mengubah asam sitrat menjadi asam isositrat.
d. Asam Isositrat berubah menjadi asam ketoglutarat dg melepas gugus karboksil (COO-) dalam bentuk CO2 dan memberi atom-atom Hidrogen serta elektron kpd NAD+ untuk membentuk NADH.
e. Pelepasan CO2, pemberian atom hidrogen dan elektron kpd NAD+ kembali terjadi sehingga asam ketoglutarat berikatan dengan koenzim A membentuk senyawa antara suksinil KoA.
f. Koenzim A melepas kembali dan pelepasan itu membantu pengikatan ADP dg gugus fosfat menjadi ATP, serta senyawa antara berubah menjadi asam suksinat.
g. Asam suksinat mentransfer atom hidrogen dan elektron kepada FAD membentuk FADH2, dan asam suksinat berubah menjadi berubah menjadi asam fumarat.
h. Asam fumarat yang menggunakan H2O berubah menjadi asam malat, lalu mentransfer kembali atom hidrogen dan elektron kepada NAD+ membentuk NADH.
Kemudian asam malat berubah menjadi asam oksaloasetat yang akan digunakan dalam siklus krebs selanjutnya.

Read More..

Rabu, 15 Februari 2012

The worst in the business world is the situation of no decision. (Napoleon).
Yang terparah dalam dunia usaha adalah keadaan tidak ada keputusan. (Napoleon).
Read More..

Sabtu, 21 Januari 2012

MAQAMAT (STAGE) DALAM TASAWUF


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Dalam diri setiap manusia terkandung dua dimensi yang berbeda, yaitu jasmani yang lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah disini bukan sekedar bersih dari noda, namun lengkap dengan potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk menjadi kholifah fil ardhi serta memerankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.
            Jika manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan, keluhuran ataupun kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana potensi tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan? Banyak teori yang berbicara mengenai hal ini yang salah satunya adalah tasawuf.
            Sebagaimana yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalani hidupnya penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupun di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan tuhan-Nya.
            Oleh karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta maqamat dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mencapai kedudukan yang sangat mulia dimata tuhan-Nya.
Sufisme atau tasawuf mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan membangun psikologi dan pribadi muslim melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan kepribadian muslim dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubah, zuhd, sabr, tawakkal, ridha, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, syukr dan ma`rifah.


RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, penyusun mendapatkan beberapa rumusan masalah antara lain:
1.      Apa al-maqamat dalam sufisme?
2.      Apa tingkatan maqamat?

TUJUAN
            Dari rumusan masalah di atas, penyusun mendapatkan beberapa tujuan antara lain:
1.      Dapat mengetahui al-maqamat dalam sufisme.
2.      Dapat mengetahui tingkatan maqamat.

PEMBAHASAN

1.      AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Tazkiyyah al-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan, peralihan daripada keadaan yang tidak menurut syariat kepada keadaan yang menempati syariat, daripada hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, daripada munafik menuju sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan bertukar kepada pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawaddu`, tawakkal serta terkawal.
Kebersihan jiwa akan membawa kepada kondisi batiniah yang bebas daripada nilai-nilai negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas daripada nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai dan dicintai oleh masyarakat sekitar serta diridhai Allah SWT. (Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. 2006: 67-68)
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam) sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji.” Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. (http://abdulasep-belajarberkarya.blogspot.com/2010/06/maqamat-dalam-tasawuf.html, tanggal akses: 21 September 2011, pukul: 20.40)
Maqam (jamaknya maqamat) yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dai tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal. Amalan-amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Allah swt, mendapat kecintaan dan keridhaan daripada-Nya. Hasil daripada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutama nya terhadap kondisi batin. (Prof. Dr. M. Solihin, M. Ag dan Dr. Rosihin Anwar, M. Ag. 2008: 78)
Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah swt), shukr (berterima kasih kepada Allah swt), dan mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) daripada Allah sebagai Pencipta.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.
Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahapan-tahapan atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka sependapat bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah taubah.

Pendapat penyusun mengenai al-maqamat dalam sufisme
 Menurut pendapat kami dengan uraian di atas, bahwasanya bersuci diri dan hati adalah hal yang paling disukai Allah, akan tetapi untuk menuju yang fitrah, banyak halangan untuk meraihnya, ajaran sufi atau maqamat mempunyai cara yang baik untuk membuat jiwa yang tadinya kotor menjadi jiwa yang suci dengan beralaskan akihrat sebagai tujuan utama, dan tanpa mengabaikan kehidupan dunia, karena ada hadist yang menunjukan beribadalah kamu seakan-akan kamu besok akan mati.dan bekerjalah kamu seakan-akan kamu akan hidup seterusnya kutipan hadist ini mencontohkan untuk saling imbang dalam urusan dunia dan akhirat. Dengan mendekatkan diri melalui maqomat atau jalan menuju yang suci dhohir dan batin manfaatnya memang besar kita rasakan hati merasa tenang dari kejaran hidup dunia. Dalam menyelaraskan hubungan dengan sang pencipta merupakan suatu hal yang harus dijalankan, karena sebagai hamba yang taat akan patuh dan taat dalam menjalankan tugasnya, seperti dulu yang pernah di ungkapkan oleh Syech Siti Jenar mengenai rasa menyatu dengan sang Khalik atau sering disebut (Manunggaling Kawulo Gusti) akan tetapi yang diterima dimasyarkat jauh berbeda dalam mengartikan, karena pada semuanya suci dan buruknya hati ini tidak akan bisa jikalau tidak mendapat ridho dari Allah Dzat yang memiliki timur, barat, utara dan selatan sebagai hamba hanya bisa dengan ikhtiar supaya mendapatkan hati yang suci dhohir dan bathin.
2. TINGKATAN MAQAMAT
a.      Maqam Taubah
Taubah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Taubah juga merupakan sebuah term yang dikembangkan para salikin (orang-orang menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat berikut yang akan diuraikan selepas ini.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
b.      Maqam Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Allah yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahwa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.
c.       Maqam Sabr
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hambal perkataan sabar disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabar ini wajib dan merupakan bagian dari shukr.
Sabar dalam pengertian bahasa adalah “Menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri adalah “Menahan diri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah daripada keluh kesah serta menahan anggota tubuh daripada kekacauan”.
Sabar juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan larangan maupun dalam bentuk perlakuan orang lain serta sikap menghadapi sesuatu musibah.
Sabar merupakan sifat yang secara holistik harus dimiliki oleh seorang sufi. Sabar sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian. Seorang sufi semestinya berada dalam ketabahan dan kesabaran yang utuh. Sabar mempunyai nilai psikologi yaitu setelah seorang sufi menjalani maqam zuhd sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dan dia boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut.
d.      Maqam Tawakkal
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakkal kepada Allah SWT. Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam”.
Penyerahan diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir Yang Maha Kuasa yaitu selepas seorang yang bertawakkal menjalani maqamat, tawbah, zuhd, mahabbah dan sabr. Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt meyakini kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Tawakkal sendiri bukanlah bermakna seseorang itu akan bersikap pasif dan bersemangat melarikan diri daripada kenyataan hidup. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya daripada pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Allah SWT.
Allah berfirman yang bermaksud: “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya. Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
“Hukum (keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal (menyerahkan diri) dan hendaklah bertawakkallah kepada-Nya wahai orang-orang yang tawakkal.”
“Kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu orang yang beriman.”
e.       Maqam Ridha
Ridha adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang artinya: “Dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga ‘adn.”
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapnya.”
Bagi al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridhaan hamba.
Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela diatas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
f.        Maqam Mahabbah
Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT.
Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta Ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya. Cinta adalah sesuatu yang membawa orang kepada keridhaan Ilahi. Bagi merealisasikan cinta, orang mudah mengorbankan apa saja asal dengan pengorbanan itu dia sampai kepada tujuan cintanya. Oleh kerana itu cinta sering diartikan sebagai berikut:
a. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
b. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
c. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi. Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka Bukan pula kerana masuk syurga Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadanya Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka Bakarlah aku di dalamnya Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga Jauhkan aku daripadanya Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”
Cinta bagi Rabi`ah bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga lebih daripada itu dimana beliau mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Allah pernah menyentuh masalah cinta ini didalam al-Qur’an dimana ada diantara manusia yang tegar menyembah dan mencintai selain daripada-Nya sedangkan Allah saja yang berhak disembah dan dicintai.
Allah menguraikan perkara tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah cinta yang sebenarnya; bahwa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selain-Nya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah serta tidak bercampur dengan selain-Nya.
g.      Maqam Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat)
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Allah.
Ma`rifah dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiyyah (Ketuhanan), kerana ma`rifah ini adalah tingkat tertinggi daripada pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenali Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Allah tanpa batasan. Ia meyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Allah. Oleh itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan dan beramal soleh.
Para sufi menyebut ma`rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seseorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karana itu mereka mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2. Apabila dia melihat cermin yang dilihatnya juga adalah Allah.
3. Ketika bangun maupun tidur yang dilihatnya ialah Allah.
4. Allah tidak boleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah.
Pada prinsipnya ma`rifah dalam tazkiyyah al-nafs adalah sebuah intuisi bawah sadar manusia yang diperolehnya hasil daripada ketajaman mata hati setelah menjalani tahapan-tahapan dan latihan-latihan kerohanian secara optimal. Melalui perjalanan yang panjang ini, Allah dengan rahmat-Nya memberikan ma`rifah tersebut kepada mereka yang sanggup menerimanya. (Ust. Drs. Moh. Saifulloh Al-Aziz S. 1998: 105)
Pendapat penyusun mengenai tingkatan maqamat
Menurut pendapat kami hal yang paling penting yang merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu'), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr)
Seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan dzikir) dari kesemuanya ini jika dijalankan dengan istiqomah dan hati yang tertata dengan niat sungguh insya Allah kesufian yang bermaqom atau yang cocok dengan kita akan kita dapatkan dengan syarat menempuh tujuh hal yang telah diuraikan sebagai mana yang ada di atas yang harus kita ketahui segala yang kita milki bersumber dari satu Dzat,dengan demikian ridhonya yang dapat mewujudkan semua ini.

PENUTUP

KESIMPULAN
1.                  Al-Maqamat dalam Sufisme

Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya. Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.
Bersuci diri dan hati adalah hal yang paling disukai Allah, akan tetapi untuk menuju yang fitrah, banyak halangan untuk meraihnya, ajaran sufi atau maqamat mempunyai cara yang baik untuk membuat jiwa yang tadinya kotor menjadi jiwa yang suci dengan beralaskan akihrat sebagai tujuan utama, dan tanpa mengabaikan kehidupan dunia, karena ada hadist yang menunjukan beribadalah kamu seakan-akan kamu besok akan mati.dan bekerjalah kamu seakan-akan kamu akan hidup seterusnya kutipan hadist ini mencontohkan untuk saling imbang dalam urusan dunia dan akhirat. Dengan mendekatkan diri melalui maqomat atau jalan menuju yang suci dhohir dan batin manfaatnya memang besar kita rasakan hati merasa tenang dari kejaran hidup dunia. Dalam menyelaraskan hubungan dengan sang pencipta merupakan suatu hal yang harus dijalankan, karena sebagai hamba yang taat akan patuh dan taat dalam menjalankan tugasnya, seperti dulu yang pernah di ungkapkan oleh Syech Siti Jenar mengenai rasa menyatu dengan sang Khalik atau sering disebut (Manunggaling Kawulo Gusti) akan tetapi yang diterima dimasyarkat jauh berbeda dalam mengartikan, karena pada semuanya suci dan buruknya hati ini tidak akan bisa jikalau tidak mendapat ridho dari Allah Dzat yang memiliki timur, barat, utara dan selatan sebagia hamba hanya bisa dengan ikhtiar supaya mendapatkan hati yang suci dhohir dan bathin.


2.                  Tingkatan Maqamat
Ada beberapa tingkatan maqamat, antara lain: maqam taubah, maqam zuhd, maqam sabr, maqam tawakkal, maqam ridha, maqam mahabbah, maqam ma`rifah.
Hal yang paling penting yang merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu'), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr).
Seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan dzikir) dari kesemuanya ini jika dijalankan dengan istiqomah dan hati yang tertata dengan niat sungguh insya Allah kesufian yang bermaqom atau yang cocok dengan kita akan kita dapatkan dengan syarat menempuh tujuh hal yang telah diuraikan sebagai mana yang ada di atas yang harus kita ketahui segala yang kita milki bersumber dari satu Dzat,dengan demikian ridhonya yang dapat mewujudkan semua ini.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Aziz, Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami Ilmu Tashawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Dwiyanto, Djoko. 2006. Serat Pustoko Rojo Purwo. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Solihin, Mukhtar dan Rosihan Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Read More..