PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dalam diri setiap
manusia terkandung dua dimensi yang berbeda, yaitu jasmani yang lahir dalam
keadaan fitrah. Fitrah disini bukan sekedar bersih dari noda, namun lengkap
dengan potensi kodrati yang bersifat spiritual. Dengan potensi inilah manusia
diberi kepercayaan untuk menjadi kholifah fil ardhi serta memerankan
fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.
Jika
manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan, keluhuran ataupun
kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana potensi
tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan? Banyak teori yang berbicara
mengenai hal ini yang salah satunya adalah tasawuf.
Sebagaimana
yang telah dijalani oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalani hidupnya
penuh dengan ketaqwaan serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai berbagai
hal sehingga menjadikan hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupun
di akhirat. Mereka merasa sangat dekat dengan tuhan-Nya.
Oleh
karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta maqamat
dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mencapai kedudukan
yang sangat mulia dimata tuhan-Nya.
Sufisme
atau tasawuf mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina
dan membangun psikologi dan pribadi muslim melalui takhalliyyah al-nafs,
tahalliyyah al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam
mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan kepribadian muslim dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubah, zuhd, sabr, tawakkal, ridha, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, syukr dan ma`rifah.
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan kepribadian muslim dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubah, zuhd, sabr, tawakkal, ridha, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, syukr dan ma`rifah.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas,
penyusun mendapatkan beberapa rumusan masalah antara lain:
1. Apa al-maqamat dalam sufisme?
2. Apa tingkatan maqamat?
TUJUAN
Dari rumusan masalah di atas,
penyusun mendapatkan beberapa tujuan antara lain:
1. Dapat mengetahui al-maqamat dalam
sufisme.
2. Dapat mengetahui tingkatan maqamat.
PEMBAHASAN
1. AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan
penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta
penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs
ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya
hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu
metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses
dan latihan-latihan rohani tertentu.
Tazkiyyah al-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor,
ternoda dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan, peralihan daripada
keadaan yang tidak menurut syariat kepada keadaan yang menempati syariat,
daripada hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, daripada munafik menuju
sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan bertukar kepada pemurah, sifat
dendam berganti dengan pemaaf, tawaddu`, tawakkal serta terkawal.
Kebersihan jiwa akan membawa kepada kondisi batiniah yang
bebas daripada nilai-nilai negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap
ukuran yang bebas daripada nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui
setiap perbuatan yang disukai dan dicintai oleh masyarakat sekitar serta
diridhai Allah SWT. (Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum. 2006: 67-68)
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi
nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para
sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Allah Ta’ala berfirman yang
artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam)
sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat
terpuji.” Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat
dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. (http://abdulasep-belajarberkarya.blogspot.com/2010/06/maqamat-dalam-tasawuf.html, tanggal akses: 21 September 2011,
pukul: 20.40)
Maqam (jamaknya maqamat) yang dijalani kaum sufi umumnya
terdiri dai tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal. Amalan-amalan
itu kemudian dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang
terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian
yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu
dekat dengan Allah swt, mendapat kecintaan dan keridhaan daripada-Nya. Hasil
daripada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah
kehidupan yang positif, terutama nya terhadap kondisi batin. (Prof. Dr. M.
Solihin, M. Ag dan Dr. Rosihin Anwar, M. Ag. 2008: 78)
Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa
(pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai
kebendaan selain Allah swt), shukr (berterima kasih kepada Allah swt), dan
mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan
orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan
pengawalan (muhasabah) daripada Allah sebagai Pencipta.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu
tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu
tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise)
menuju kepadanya.
Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain,
kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut.
Tahapan-tahapan atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama
diantara ahli-ahli sufi, namun mereka sependapat bahwa tahap permulaan bagi
setiap maqam ialah taubah.
(http://abdulasep-belajarberkarya.blogspot.com/2010/06/maqamat-dalam-tasawuf.html, tanggal akses: 21 September 2011,
pukul: 20.47)
Pendapat penyusun mengenai al-maqamat
dalam sufisme
Menurut pendapat kami
dengan uraian di atas, bahwasanya bersuci diri dan hati adalah hal yang paling
disukai Allah, akan tetapi untuk menuju yang fitrah, banyak halangan untuk
meraihnya, ajaran sufi atau maqamat mempunyai cara yang baik untuk membuat jiwa
yang tadinya kotor menjadi jiwa yang suci dengan beralaskan akihrat sebagai
tujuan utama, dan tanpa mengabaikan kehidupan dunia, karena ada hadist yang
menunjukan beribadalah kamu seakan-akan kamu besok akan mati.dan bekerjalah
kamu seakan-akan kamu akan hidup seterusnya kutipan hadist ini mencontohkan
untuk saling imbang dalam urusan dunia dan akhirat. Dengan mendekatkan diri
melalui maqomat atau jalan menuju yang suci dhohir dan batin manfaatnya memang
besar kita rasakan hati merasa tenang dari kejaran hidup dunia. Dalam
menyelaraskan hubungan dengan sang pencipta merupakan suatu hal yang harus
dijalankan, karena sebagai hamba yang taat akan patuh dan taat dalam
menjalankan tugasnya, seperti dulu yang pernah di ungkapkan oleh Syech Siti
Jenar mengenai rasa menyatu dengan sang Khalik atau sering disebut
(Manunggaling Kawulo Gusti) akan tetapi yang diterima dimasyarkat jauh berbeda
dalam mengartikan, karena pada semuanya suci dan buruknya hati ini tidak akan
bisa jikalau tidak mendapat ridho dari Allah Dzat yang memiliki timur, barat, utara
dan selatan sebagai hamba hanya bisa dengan ikhtiar supaya mendapatkan hati
yang suci dhohir dan bathin.
2. TINGKATAN MAQAMAT
a.
Maqam Taubah
Taubah
merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah
ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku
yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Taubah juga merupakan sebuah term yang
dikembangkan para salikin (orang-orang menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat
berikut yang akan diuraikan selepas ini.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.
b.
Maqam Zuhd
Secara
terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan
kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan
lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang
berperilaku zuhd).
Al-Junayd
al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun
dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki
sesuatu yang berharga melainkan Allah yang dirasakannya dekat dengan dirinya.
Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahwa zuhd adalah meninggalkan apa
yang mudah ditinggalkan.
c.
Maqam Sabr
Sabar
bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha
kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar
ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara
yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut
Imam Ahmad ibn Hambal perkataan sabar disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh
tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabar ini wajib dan merupakan bagian dari shukr.
Sabar
dalam pengertian bahasa adalah “Menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri
adalah “Menahan diri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah
daripada keluh kesah serta menahan anggota tubuh daripada kekacauan”.
Sabar
juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik
berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan larangan maupun
dalam bentuk perlakuan orang lain serta sikap menghadapi sesuatu musibah.
Sabar
merupakan sifat yang secara holistik harus dimiliki oleh seorang sufi. Sabar
sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian. Seorang sufi semestinya berada
dalam ketabahan dan kesabaran yang utuh. Sabar mempunyai nilai psikologi yaitu
setelah seorang sufi menjalani maqam zuhd sebagaimana yang telah diterangkan
sebelum ini dan dia boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut.
d.
Maqam Tawakkal
Dalam
pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita
bertawakkal kepada Allah SWT. Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan
diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara
harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila
dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa
keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal
yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan
mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Tawakkal
adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa
dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang
tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan
suka maupun duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka
akan bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam”.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam”.
Penyerahan
diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir Yang Maha
Kuasa yaitu selepas seorang yang bertawakkal menjalani maqamat, tawbah, zuhd,
mahabbah dan sabr. Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt
meyakini kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah
terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Tawakkal sendiri bukanlah bermakna seseorang itu akan bersikap pasif dan bersemangat melarikan diri daripada kenyataan hidup. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya daripada pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Allah SWT.
Tawakkal sendiri bukanlah bermakna seseorang itu akan bersikap pasif dan bersemangat melarikan diri daripada kenyataan hidup. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya daripada pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Allah SWT.
Allah
berfirman yang bermaksud: “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku,
Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang
menguasainya. Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
“Hukum
(keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal
(menyerahkan diri) dan hendaklah bertawakkallah kepada-Nya wahai orang-orang
yang tawakkal.”
“Kepada
Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu orang yang beriman.”
e.
Maqam Ridha
Ridha
adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani
proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah
kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang
maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal
soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman
yang artinya: “Dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga ‘adn.”
“Allah
ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapnya.”
Bagi al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridhaan hamba.
Bagi al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridhaan hamba.
Ridha
terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha
manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan
Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa
terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela diatas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela diatas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”
f.
Maqam Mahabbah
Secara
harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang.
Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang
ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan
hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih
yaitu Allah SWT.
Tasawuf
menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk
memperoleh cinta Ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi
curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya. Cinta adalah sesuatu yang membawa
orang kepada keridhaan Ilahi. Bagi merealisasikan cinta, orang mudah
mengorbankan apa saja asal dengan pengorbanan itu dia sampai kepada tujuan
cintanya. Oleh kerana itu cinta sering diartikan sebagai berikut:
a. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
b. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
c. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi. Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka Bukan pula kerana masuk syurga Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadanya Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka Bakarlah aku di dalamnya Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga Jauhkan aku daripadanya Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”
a. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
b. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
c. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi. Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka Bukan pula kerana masuk syurga Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadanya Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka Bakarlah aku di dalamnya Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga Jauhkan aku daripadanya Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”
Cinta
bagi Rabi`ah bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga lebih
daripada itu dimana beliau mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Allah pernah
menyentuh masalah cinta ini didalam al-Qur’an dimana ada diantara manusia yang
tegar menyembah dan mencintai selain daripada-Nya sedangkan Allah saja yang
berhak disembah dan dicintai.
Allah menguraikan perkara tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah cinta yang sebenarnya; bahwa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selain-Nya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah serta tidak bercampur dengan selain-Nya.
Allah menguraikan perkara tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).” Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah cinta yang sebenarnya; bahwa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selain-Nya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah serta tidak bercampur dengan selain-Nya.
g.
Maqam Ma`rifah
Ma`rifah
(‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan
kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam
tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk
tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari
kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat)
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan
merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui
apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya
berdasarkan pengetahuan Allah.
(http://abdulasep-belajarberkarya.blogspot.com/2010/06/maqamat-dalam-tasawuf.html, tanggal akses: 21 September 2011,
pukul: 21.00)
Ma`rifah
dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai
ilahiyyah (Ketuhanan), kerana ma`rifah ini adalah tingkat tertinggi daripada
pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenali Tuhan. Seorang
sufi merasa dirinya dekat dengan Allah tanpa batasan. Ia meyakini bahwa dirinya
selalu dipimpin oleh Allah. Oleh itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya
supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan dan beramal soleh.
Para
sufi menyebut ma`rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seseorang sufi
dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat
Tuhan. Oleh karana itu mereka mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam
hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang
dilihatnya hanyalah Allah.
2. Apabila dia melihat cermin yang
dilihatnya juga adalah Allah.
3. Ketika bangun maupun tidur yang
dilihatnya ialah Allah.
4. Allah tidak boleh dilihat dengan
mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan
dan kecantikan Allah.
Pada
prinsipnya ma`rifah dalam tazkiyyah al-nafs adalah sebuah intuisi bawah sadar
manusia yang diperolehnya hasil daripada ketajaman mata hati setelah menjalani
tahapan-tahapan dan latihan-latihan kerohanian secara optimal. Melalui
perjalanan yang panjang ini, Allah dengan rahmat-Nya memberikan ma`rifah
tersebut kepada mereka yang sanggup menerimanya. (Ust. Drs. Moh. Saifulloh
Al-Aziz S. 1998: 105)
Pendapat penyusun mengenai tingkatan
maqamat
Menurut
pendapat kami hal yang paling penting yang merupakan keadaan
mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati
(al-tawadlu'), patuh (al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns),
gembira hati (al-wajd), berterima kasih (al-syukr)
Seorang
sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan
mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan
dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang
terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah
(mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada
Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan
dzikir) dari kesemuanya ini jika dijalankan dengan istiqomah dan hati yang
tertata dengan niat sungguh insya Allah kesufian yang bermaqom atau yang cocok
dengan kita akan kita dapatkan dengan syarat menempuh tujuh hal yang telah
diuraikan sebagai mana yang ada di atas yang harus kita ketahui segala yang
kita milki bersumber dari satu Dzat,dengan demikian ridhonya yang dapat
mewujudkan semua ini.
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Al-Maqamat dalam Sufisme
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi
nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para
sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal. Maqam didefinisikan sebagai
suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu
tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya
sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise)
menuju kepadanya. Seorang sufi yang menjalani proses
al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang,
tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional
berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal,
mahabbah dan ma`rifah.
Bersuci diri dan hati adalah hal yang paling disukai Allah,
akan tetapi untuk menuju yang fitrah, banyak halangan untuk meraihnya, ajaran
sufi atau maqamat mempunyai cara yang baik untuk membuat jiwa yang tadinya
kotor menjadi jiwa yang suci dengan beralaskan akihrat sebagai tujuan utama,
dan tanpa mengabaikan kehidupan dunia, karena ada hadist yang menunjukan
beribadalah kamu seakan-akan kamu besok akan mati.dan bekerjalah kamu seakan-akan
kamu akan hidup seterusnya kutipan hadist ini mencontohkan untuk saling imbang
dalam urusan dunia dan akhirat. Dengan mendekatkan diri melalui maqomat atau
jalan menuju yang suci dhohir dan batin manfaatnya memang besar kita rasakan
hati merasa tenang dari kejaran hidup dunia. Dalam menyelaraskan hubungan
dengan sang pencipta merupakan suatu hal yang harus dijalankan, karena sebagai
hamba yang taat akan patuh dan taat dalam menjalankan tugasnya, seperti dulu
yang pernah di ungkapkan oleh Syech Siti Jenar mengenai rasa menyatu dengan
sang Khalik atau sering disebut (Manunggaling Kawulo Gusti) akan tetapi yang
diterima dimasyarkat jauh berbeda dalam mengartikan, karena pada semuanya suci
dan buruknya hati ini tidak akan bisa jikalau tidak mendapat ridho dari Allah
Dzat yang memiliki timur, barat, utara dan selatan sebagia hamba hanya bisa
dengan ikhtiar supaya mendapatkan hati yang suci dhohir dan bathin.
2.
Tingkatan Maqamat
Ada
beberapa tingkatan maqamat, antara lain: maqam taubah, maqam zuhd, maqam sabr, maqam
tawakkal, maqam ridha, maqam mahabbah, maqam ma`rifah.
Hal yang
paling penting yang merupakan keadaan mental, seperti
perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. hal yang biasa
disebut sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu'), patuh
(al-taqwa), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd),
berterima kasih (al-syukr).
Seorang
sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan
mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan
dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang
terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah
(mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada
Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan
dzikir) dari kesemuanya ini jika dijalankan dengan istiqomah dan hati yang
tertata dengan niat sungguh insya Allah kesufian yang bermaqom atau yang cocok
dengan kita akan kita dapatkan dengan syarat menempuh tujuh hal yang telah
diuraikan sebagai mana yang ada di atas yang harus kita ketahui segala yang
kita milki bersumber dari satu Dzat,dengan demikian ridhonya yang dapat mewujudkan
semua ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Aziz,
Moh. Saifulloh. 1998. Risalah Memahami
Ilmu Tashawuf. Surabaya: Terbit Terang.
Dwiyanto, Djoko. 2006. Serat Pustoko Rojo Purwo. Yogyakarta:
Pura Pustaka.
Solihin,
Mukhtar dan Rosihan Anwar. 2008. Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.